Langsung ke konten utama

Qira’at atau Bacaan Al-Qur’an Imam Mazhab Empat

Qira’at atau Bacaan Al-Qur’an Imam Mazhab Empat
Dalam bidang fiqih, para imam Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mampu mengambil intisari hukum dari sumber utama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits, dengan menggunakan seperangkat ilmu tanpa bertaqlid kepada orang lain. Namun beda halnya dalam bacaan Al-Qur’an, mereka tetap bersandar pada periwayatan yang didapatkan—melalui tahammul wal ada’-nya— sesuai yang diterima dari gurunya. 


Dalam ilmu qira’at dapat dijumpai bahwa para imam mazhab fiqih ini memiliki ketersambungan sanad dalam bacaan Al-Qur’an dengan sebagian para imam qira’at bahkan ada yang menjadi murid langsung dari salah satu imam qira’at, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Meskipun memiliki ketersambungan transmisi sanad dengan sebagian imam qira’at sab’ah, namun sebagian dari mereka (Imam Mazhab Fiqh) memiliki perbedaan bacaan. Hal ini dikarenakan keluasan mereka dalam mempelajari dan meneliti qira’at sehingga mampu berikhtiar dengan transmisi sanad yang lain.


Pertama, Imam Abu Hanifah (w. 150 H), dalam hal bacaan Al-Qur’an, secara umum beliau membaca dengan menggunakan qira’at “kufiyyun” (Imam Ashim, Imam Hamzah dan Imam Ali Kisa’i) yang dipelopori oleh qira’at Imam Ashim. Hanya saja dalam beberapa bacaan, Imam Abu Hanifah memiliki perbedaan meskipun tidak banyak. Hal ini disebabkan beliau memiliki guru yang sangat banyak di antaranya adalah: Ashim bin Bahdalah (w. 127 H) Yahya bin Watsab (w. 103 H) Abi al-Aliyah al-Riyahi (w. 93 H) Mujahid (w. 104 H) Abi Hashin (w. 127 H). Dari guru-guru tersebut Imam Abu Hanifah melakukan ikhtiar bacaan yang menurutnya dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Hasil ikhtiar bacaan tersebut kemudian dilestarikan dan diajarkan kepada murid-muridnya sehingga dikenal dengan bacaan Imam Abu Hanifah yang berbeda dengan bacaan “kufiyyun” pada umumnya.


Di antara perbedaan bacaan Imam Abu Hanifah dengan Imam Ashim dalam surat al-Fatihah adalah sebagai berikut:

 

Imam Ashim (w. 127 H) mengatakan bahwa basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Sedangkan Abu Hanifah menyatakan bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surat, dan tidak boleh mengeraskan suara saat membacanya. Para pengikut Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa basmalah adalah ayat yang mandiri dari Al-Qur’an, diturunkan sebagai pemisah antara dua surat, bukan termasuk dari surat Al-Fatihah dan bukan pula bagian dari surat-surat yang lain.
Pada lafadz (مَلِكِ) Imam Ashim membaca panjang huruf mim-nya (مَالِكِ) – mâliki. Sedangkan Imam Abu Hanifah membaca lafadz (مَالِكِ) dengan bentuk madhi yaitu seluruh hurufnya berharakat fathah (مَلَكَ) – malaka. Sementara pada lafadz (يوم) Imam Ashim membaca kasrah huruf mim yang berkedudukan sebagai mudhaf-mudhaf ilaih, sedangkan Imam Abu Hanifah membacanya dengan harakat fathah yang berkedudukan sebagai jumlah fi’iliyah (fa’il dan maf’ul bih).
    

Jika ditilik transmisi sanad Imam Abu Hanifah dari jalur Imam Ashim adalah sebagai berikut: Imam Abu Hanifah – Sulaiman bin Mahran al-A’masy – Ashim bin Abi al-Najud – Abu Abdurrahman al-Sullami – Sahabat Nabi (Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit) – Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

 


Kedua, Imam Malik bin Anas (w. 179 H), dalam hal bacaan Al-Qur’an beliau membaca qira’at Imam Nafi. Imam al-Jazari mengatakan bahwa Imam Malik secara langsung belajar bacaan Al-Qur’an kepada Imam Nafi’ (Ghayat al-Nihayah: 2/36). Maka dari itu, beliau menyanjung Imam Nafi dan qira’atnya. “Imam Nafi’ adalah panutan bagi masyarakat Madinah dalam bidang qira’at dan bacaanya adalah sunnah”. (Makrifat al-Qurra’ al-Kibar ‘Ala al-Thabaqat wa al-A’shar: 1/64).


Penulis belum menemukan perbedaan bacaan antara Imam Malik dengan perawi-perawi lain dari murid Imam Nafi’, namun tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan sebagaimana bacaan Imam Qalun dengan Imam Warsy meskipun berada dalam lingkup qira’at Imam Nafi’. 


Kemungkinan lain, perbedaan bacaan tidak dijumpai karena Imam Malik dengan hormat dan tawadhu’ menyerahkan suatu permasalahan kepada ahlinya. Hal ini dibuktikan pada suatu ketika Imam Malik ditanya tentang bacaan Basmalah, maka beliau berujar; “Tanyakanlah setiap ilmu kepada ahlinya, dan Imam Nafi’ (dalam hal ini) merupakan panutan dalam bidang qira’at”. (Ghayat al-Nihayah: 2/333).


Jika ditelisik, transmisi sanad qira’at Imam Malik dari Imam Nafi’ dari Imam Abu Ja’far al-Qa’qa’ adalah sebagai berikut: 


Imam Malik – Imam Nafi’ – Abu Ja’far al-Qa’qa’ – Abdullah bin Ayyasy – Ubay bin Ka’ab – Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. 


Ketiga, Imam Syafi’i (w. 204 H), dalam hal bacaan Al-Qur’an, beliau menggunakan qira’at Ibnu Katsir. Secara tegas beliau menyatakan bahwa bacaan Al-Qur’annya menggunakan qira’at Ibnu Katsir melalui jalur Ismail Qasthanthin (w. 170 H).


Imam Syafi’i berkata: “Qira’atku adalah qira’at Abdullah Ibnu Katsir al-Makki, dan saya jumpai warga Negara Makkah menggunakan qira’at Ibnu Katsir. Barang siapa yang mengharapkan kesempurnaan, maka bacalah qira’at Ibnu Katsir, dan barang siapa yang mengharapkan sunnah maka bacalah qira’at Imam Nafi’. (Tahshil al-Manafi’ fi Qira’at al-Imam al-Syafi’i: 7).


Salah satu yang paling mencolok dalam bacaan Imam Ibnu Katsir ialah membaca ringan lafadz Al-Qur’an dengan tanpa hamzah (القرأن – القران , Al-Qur’an – al-Quran). Imam Syafi’i berkata: “Saya membaca (belajar) Al-Qur’an kepada Ismail al-Qisth dan membaca lafadz “Al-Qur’an” tanpa hamzah (Al-Quran), kemudian saya bertanya kepadanya: “Apa artinya Al-Qur’an?”. Beliau menjawab: “Ia adalah nama kitab seperti Taurat dan Injil”.


Meskipun secara umum, beliau membaca Al-Qur’an dengan qira’at Ibnu Katsir, namun di sisi lain beliau memiliki bacaan tersendiri yang berbeda dengan periwayatan qira’at Ibnu Katsir dari Jalur Syatibiyah. Sebagaimana lazimnya dalam ilmu qira’at, terdapat perbedaan antar perawi dengan perawi yang lain, thariq dengan thariq yang lain. Demikian hal nya Imam Syafi’i dalam meriwayatkan qira’at Ibnu Katsir dari Jalur al-Kamil.


Jika ditilik transmisi sanad Imam Syafi’i dari jalur Ismail Qasthanthin adalah sebagai berikut: Imam Syafi’i – Ismail bin Abdullah bin Qasthanthin – Syibl bin Ubbad al-Makki – Abdullah bin Katsir – Muajahid bin Jabar – Abdullah bin Abbas – Ubay bin Ka’ab – Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.


Keempat, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Dalam hal membaca Al-Qur’an, imam Ahmad mengikuti bacaan Imam Ashim dari riwayat Imam Syu’bah. Secara transmisi sanad, Imam Ahmad menerima bacaan ini dari jalur Imam Yahya bin Adam (W. 202 H). Berikut adalah jalur transmisinya; Imam Ahmad bin Hanbal – Yahya bin Adam – Syu’bah bin Ayyasy – Ashim bin Abi al-Najud – Abu Abdurrahman al-Sullami – sahabat Nabi (Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit) – Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.


Kendati secara transmisi sanad beliau mengikuti bacaan Imam Ashim dari riwayat Syu’bah, namun beliau memiliki bacaan sendiri yang berbeda dengan bacaan Imam Syu’bah. Sebab selain belajar dari jalur yang bersambung kepada Imam Ashim, beliau juga belajar Al-Qur’an yang bersambung kepada Imam Nafi’. Maka tak heran bila beliau memuji kedua qira’at tersebut.


Suatu ketika Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putranya) bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. “Bacaan siapakah yang Engkau sukai? Beliau menjawab: “Bacaan warga Madinah, atau qira’at Ashim”.


Dalam bidang ilmu qira’at Al-Qur’an, Imam Ahmad bin Hanbal belajar kepada beberapa guru, di antaranya adalah: Yahya bin Adam (202), Ubaid bin Agil, Ismail bin Ja’far dan Abdurrahman bin Qaluqa.


Ada beberapa perbedaan bacaan antara Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syu’bah, di antaranya adalah sebagai berikut:

 

Imam al-Hadzali mengatakan bahwa ulama qurra’ Kufah, Makkah dan fuqaha’ mereka, menyatakan bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari surat al-Fatihah. Sedangkan ulama qurra’ Basrah, Madinah, Syam, berserta fuqaha’ mereka, menyatakan bahwa Basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah dan surat-surat yang lain. Namun menurut Imam Ahmad terdapat dua pendapat; Pertama, Basmalah termasuk bagian dari surat al-Fatihah. Kedua, bukan termasuk bagian dari surat al-Fatihah, ia ayat pemisah antara dua surat kecuali surat al-Anfal dan al-Taubah.
Pada lafadz (غِشَاوَةٌ) Imam Syu’bah membaca fathah syin dan alif sukun setelahnya, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal membaca lafadz tersebut dengan sukun syin dan membuang alif (غِشْوَةٌ).
Pada lafadz (جِبْرِيلَ) Imam Syu’bah membaca fathah jim dan ra’ dan mengganti ya’ dengan hamzah (جَبْرَئِلَ) sedangkan Imam Ahmad membaca lafadz dengan kasrah jim dan ra’ dan mengganti lam dengan nun (جِبْرِينَ).

Kenapa bacaan para imam mazhab fiqh ini tidak muncul dipermukaan dan dikenal khalayak masyarakat umum? Ada beberapa alasan yang menjadikan bacaan mereka tidak setenar pemikiran fiqihnya, di antaranya adalah;

 

Secara umum, bacaan mereka tidak keluar dari bacaan imam qira’at Sab’ah. Sebab secara transmisi sanad mereka memiliki ketersambungan dengan para imam qira’at sab’ah. Adapun sebagian perbedaan bacaan mereka dengan bacaan imam qira’at merupakan kelaziman yang terjadi dalam dunia periwayatan qira’at. 
Mereka lebih sibuk mengedukasi dan memberi pencerahan dan penjelasan kepada masyarakat terkait permasalahan hukum fiqih, sehingga tidak memiliki cukup waktu dan kesempatan untuk meriwayatkan dan mengenalkan bacaan.
Masyarakat setempat lebih mengenal mereka sebagai pakar dalam bidang ilmu fiqih, sehingga bacaan dan riwayat qira’atnya tidak setenar fiqih-nya.
Sebagian bacaan mereka tidak masuk dalam status qira’at yang sahih, sehingga tidak dikenal di kalangan masyarakat umum.
Ketawadhuan dan legawa hati para Imam Mazhab, untuk menyerahkan urusan qira’at kepada para ahlinya. 

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa para imam mazhab fiqih merupakan ulama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam bidang istinbath hukum secara mandiri. Namun dalam hal bacaan Al-Qur’an, mereka memiliki ketersambungan transmisi sanad dengan imam qira’at sab’ah, meskipun beberapa memiliki bacaan tersendiri. Imam Abu Hanifah menggunakan qira’at “Kufiyyun” yang dipolopori Imam Ashim. Imam Malik menggunakan qira’at Imam Nafi’. Imam Syafi’i menggunakan qira’at Ibnu Katsir dan Imam Ahmad menggunakan qira’at Ashim dari jalur Imam Syu’bah.
HM. Aulia Hafidz Al Majied, Lc.
Pecinta ilmu qira’at, founder “Al-Qur’an Al Khidmah Aulia Al Ziyadah” 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulumul Qur'an • Kaidah Penulisan Hamzah (Kaidah Imla dan Rasm)

Cyber Da'wah Aulia Media (CDAM) Kaidah Penulisan Hamzah (Kaidah Imla dan Rasm) Cara menulis hamzah di awal, di tengah, dan di akhir Berbeda dengan huruf hijaiyah lainnya, hamzah mempunyai kaidah tersediri dalam penulisannya. Hamzah bisa ditulis dalam bentuk alif, ya’, wau, atau mandiri (seperti kepala ain). Di bawah ini akan dijelaskan cara penulisan hamzah dalam kaidah imla’ dan juga rasm utsmani. Penulisan Hamzah 1. Hamzah di awal kata Ketika hamzah berada di awal kata, maka di tulis dalam bentuk alif, baik hamzah qatha maupun hamzah washal. Perbedaanya kalau menulis hamzah qatha harus ada kepala hamzahnya (ء) di atas alif ketika berharakat fathah dan dhammah serta berada di bawah alif ketika berharakat kasrah. Sedangkan menulis hamzah washal berbentuk alif saja tanpa ada kepada hamzah. Contoh hamzah qatha: أَنْعَمْتَ – أُنَاسٌ - إِكْرَامٌ Contoh hamzah washal: اَلْأَنْهَارُ - اِبْنٌ - اُنْصُرْ === Perbedaan hamzah qatha dan hamzah washal === 2. Hamzah di tengah Hamza

Bacaan Do'a Safar Perjalanan Lengkap Arab dan terjemahan

HM. Aulia Hafidz Al Majied, SE,.Lc' Al Khidmah Aulia Al Ziyadah  >Doa Umroh & Haji>Bacaan Doa Safar Perjalanan Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan Bacaan Doa Safar Perjalanan Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan Safar (perjalanan jauh) adalah suatu hal yang menyulitkan. Namun di saat sulit semacam itu, Allah memberikan kita kesempatan untuk banyak berdo’a dan di situlah waktu mustajab, mudah dikabulkan do’a Bacaan Doa Safar Perjalanan Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan Post category:Doa Umroh & Haji / Kumpulan Doa Islam Post comments:0 Comments Melakukan safar adalah salah satu fitrah sebagai umat manusia, terutama karena untuk niat ibadah. Sebagai umat muslim, dianjurkan untuk memanjatkan doa ketika akan melakukan aktifitas. Demikian juga kita dianjurkan untuk memanjatkan bacaan doa safar saat melakukan perjalanan atau bepergian jauh seperti umroh dan haji. Pengertian Safar Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar ada

Dzikir Selama Bulan Rajab

Beberapa amalan yang sudah memasyarakat ketika masuk bulan rajab salah satu cara yang dianjurkan oleh islam dalam hal ini adalah dengan melakukan wirid dzikir dan doa. mohon maaf bagi sahabat yang masih awam mengenai hal ini, berikut di bawah ini kami sajikan bacaannya dengan tulisan arab dan latin. Doa bulan rajab menyambut datangnya bulan sya'ban dan ramadhan اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ ALLAAHUMMA BAARIK LANAA FII RAJABA WA SYA'BAANAA WA BALLIGHNAA RAMADHANAA Artinya : Ya Allah berkahilah kami pada bulan rajab dan sya'ban dan sampaikan kami kepada ramadhan.  Wirid dan dzikir  Amalan Mulai Tanggal 1 sampai 10 Rajab   سُبْحَانَ اللهُ حَيُّ الْقَيُّوْمُ  SUBHAANALLOOHU HAYYUL QOYYUUMU (Dibaca 100 kali) سُبْحَانَ اللهِ اَحَدِ الصَّمَدْ  SUBHAANALLOOHII AHADISH-SHOMAD (Dibaca 100 kali)  سُبْحَانَ اللهُ الرَّؤُوْفُ  SUBHAANALLOOHUU ROUUFU (Dibaca 100 kali) Setelah sholat subuh, silakan baca atau amalkan ini sebanyak 70 ka