Langsung ke konten utama

Apa Sikap Kita terhadap Mereka yang Melecehkan Ayat Allah?

(Tafsir QS al-An'am ayat 68-69)
"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzolim itu sesudah teringat (akan larangan itu). Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka, tetapi (kewajiban mereka ialah) mengingatkan agar mereka bertakwa." Syekh Mutawalli al-Sya'rawi dalam kitab tafsirnya mengatakan: ‎أَنك إذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم وبيِّن لهم الجفوة فلا تقبل عليهم، ولا توادهم، ولا تستمع إليهم، ولا يسمع إليهم أصحابك "Apabila engkau [Nabi Muhammad] mendapati orang yang melecehkan ayat-ayat Kami, tinggalkan mereka, jangan jalin persahabatan dengan mereka, jangan dengarkan pelecehan yang mereka sampaikan, dan jangan pula para sahabatmu ikut mendengarkan mereka." Begitulah petunjuk Al-Qur’an. Kalau ada yang menghina ayat Allah, jangan dengarkan, berpalinglah dan tinggalkan mereka. Itu saja. Tafsir al-Munir karya Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan: ‎فإن تجنبوا مجالسة الخائضين، فلا يحاسبون على خوضهم، وبرئوا من عهدتهم، وتخلصوا من إثمهم. وقال آخرون (مجاهد والسدي وابن جريج) : بل معناه: وإن جلسوا معهم، فليس عليهم من حسابهم من شيء، وزعموا أن هذا منسوخ بآية النساء المدنية وهي قوله: إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ [٤/ ١٤٠] Sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka. (Al-An'am: 69) Yakni tidak ada dosa perbuatan memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang dilakukan mereka, apabila kamu meninggalkan mereka dan berpaling dari mereka. Tetapi menurut ulama yang lain, makna ayat ialah sekalipun orang-orang yang bertakwa duduk bersama mereka yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah, maka orang-orang yang bertakwa itu tetap tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun terhadap dosa mereka. Ulama yang berpendapat demikian (Mujahid, al-Suddy, dan Ibn Juraih) menduga bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat surat An-Nisa yang Madaniyyah: QS al-Nisa ayat 140: "Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur’an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam." Ayat dalam surat al-An'am:68-69 di atas turun di Mekkah di saat umat Islam dalam kondisi lemah, dan karenanya dituntut untuk berpaling dari mereka yang melecehkan Al-Qur’an, dan tidak mengapa kalau lupa duduk satu majelis dengan para penista Al-Qur’an karena umat Islam tidak menanggung dosa para penista tersebut, namun dalam surat al-Nisa yang turun di Madinah di saat umat Islam sudah dalam posisi kuat maka diminta memutuskan hubungan sama sekali dengan penista Al-Qur’an agar tidak serupa dengan mereka. Seolah ayat al-Nisa:140 yang dianggap oleh sebagian ulama me-nasakh al-An'am:69 itu bermaksud mengatakan kalau kamu duduk bersama mereka seakan-akan kamu menyetujui pelecehan yang mereka lakukan terhadap ayat Allah. Buat mayoritas ulama yang tidak menganggap telah terjadi nasikh-mansukh dalam kedua ayat di atas, maka tidak ada pertentangan dalam kedua ayat tersebut. Pesan utamanya tetap sama: tinggalkan perbincangan mereka yang melecehkan ayat Allah. Apa pun pendapat yang kita pilih --apakah terjadi nasikh-mansukh atau tidak-- satu hal yang jelas: kita hanya diminta oleh Al-Qur’an untuk meninggalkan majelis, forum, atau acara dimana ayat Allah dilecehkan. Tidak lebih dari itu. Tidak ada perintah untuk membunuh para penista Al-Qur’an, sebagaimana teriakan sebagian pihak yang bersurban dan bergamis di jalan raya. Mari kita kembali kepada petunjuk Al-Qur’an jikalau kita memang hendak membela Al-Qur’an dari para penistanya. Catatan penting: petunjuk ayat di atas berlaku jika memang terjadi penistaan atau pelecehan terhadap ayat Allah. Jikalau masih terjadi keraguan benarkah terjadi penistaan terhadap ayat Allah, tentu lebih baik kita kedepankan tabayun terlebih dahulu agar jangan sampai kita menimpakan kemudaratan kepada mereka yang tidak berniat dan tidak bermaksud menistakan Al-Qur’an. Kita pun bisa jatuh pada kezaliman kalau demikian halnya. Redaksi ayat di atas mengindikasikan bahwa jikalau mereka tidak melecehkan Al-Qur’an maka tidak mengapa kita duduk, bergaul, belajar bersama, atau melakukan kegiatan lainnya dengan orang-orang non-Muslim. Kita bisa saling mengambil manfaat selama tidak melanggar aturan syari'at. Kalau petunjuk Al-Qur’an yang ayatNya hendak kita bela sudah sedemikian lurus meminta kita hanya berpaling dari majelis yang melecehkan Al-Qur’an, maka mengapa mereka yang katanya hendak membela Al-Qur’an malah meminta yang justru tidak diminta Al-Qur’an? Kadang ayat Al-Qur’an terasa mengejutkan justru untuk mereka yang bermaksud membelanya. Subhanallah!

Penulis:
M Aulia Hafidz Al-Majied, Lc.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulumul Qur'an • Kaidah Penulisan Hamzah (Kaidah Imla dan Rasm)

Cyber Da'wah Aulia Media (CDAM) Kaidah Penulisan Hamzah (Kaidah Imla dan Rasm) Cara menulis hamzah di awal, di tengah, dan di akhir Berbeda dengan huruf hijaiyah lainnya, hamzah mempunyai kaidah tersediri dalam penulisannya. Hamzah bisa ditulis dalam bentuk alif, ya’, wau, atau mandiri (seperti kepala ain). Di bawah ini akan dijelaskan cara penulisan hamzah dalam kaidah imla’ dan juga rasm utsmani. Penulisan Hamzah 1. Hamzah di awal kata Ketika hamzah berada di awal kata, maka di tulis dalam bentuk alif, baik hamzah qatha maupun hamzah washal. Perbedaanya kalau menulis hamzah qatha harus ada kepala hamzahnya (ء) di atas alif ketika berharakat fathah dan dhammah serta berada di bawah alif ketika berharakat kasrah. Sedangkan menulis hamzah washal berbentuk alif saja tanpa ada kepada hamzah. Contoh hamzah qatha: أَنْعَمْتَ – أُنَاسٌ - إِكْرَامٌ Contoh hamzah washal: اَلْأَنْهَارُ - اِبْنٌ - اُنْصُرْ === Perbedaan hamzah qatha dan hamzah washal === 2. Hamzah di tengah Hamza...

Enam (6) Kaidah Rasm Utsmani (Kaidah Penulisan Al-Qur'an)

Cyber Da'wah Aulia Media (CDAM) Kaidah Rasm Utsmani | Khath Utsmani | Rasmul Qur'an Rasm bisa diartikan atsar (bekas), khat (tulisan) atau metode penulisan. Rasm Utsmani atau disebut juga Rasmul Qur’an adalah tata cara penulisan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah Utsman bin Affan. Istilah Rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Menulis Kaligrafi Al-Qur'an Kaidah rasm utsmani ada 6: 1. Hadzf (الْحَذْف) Hadzf artinya membuang. Nah dalam penulisan Al-Qur’an ada beberapa huruf yang dibuang. Huruf yang dibuang diantaranya alif, wau, ya’, lam dan nun. Contoh wau yang dibuang: اَلْغَاونَ (اَلْغَاوُوْنَ) Contoh ya’ yang dibuang: وَلِيَ دِيْنِ (دِيْنِيْ) Contoh lam yang dibuang: ...

Imam Al-Ghazali: Sang Hujjatul Islam

Imam Al-Ghazali: Sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan Hujjatul Islam (argumentator Islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga Islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme Yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasan yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Para Ulama nasab berselisih pendapat dalam penyandaran nama Imam Ghazali ra, sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thus tempat kelahiran beliau ini dikuatkan oleh Al-Fayumi dalam Mishbahul Munir, penisbatan ini kepada salah seorang keturunan Imam Ghazali yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhammad bin Abi Thohir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah, anaknya Sitti Al-Mana Binti Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali yang mengatakan: “...