Langsung ke konten utama

Antara Jihad dan menuntut ilmu

Firman Allah :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة [٩]: ١٢٢)

“Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa kelompok yang memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka supaya mereka menjaga diri.” (QS. At Taubah [9]: 122).

ASBABUN NUZUL

Mengetahui Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) adalah hal yang sangat penting untuk memahami ayat Al Qur’an. Imam al-Wahidi berkata, “Untuk mengetahui tafsir makna ayat Al Qur’an, tidak mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwanya dan sebab turunnya.”

Menurut Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah bahwa ketika turun ayat “illa tanfiru yu’adzdzibkum ‘adzaba alima” (jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang sangat pedih) QS. At Taubah: 39. Ada beberapa orang yang jauh dari kota yang tidak ikut berperang. Berkatalah orang-orang mukmin, “Celakalah orang-orang di kampung itu karena ada orang-orang yang meninggalkan diri tidak turut berjihad bersama Rasulullah.” Maka turunlah ayat di atas yang membenarkan orang-orang meninggalkan diri dari berjihad untuk memperdalam ilmu dan mengajarkannya kepada kaumnya.

PENJELASAN

Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat tentang jihad yang menjelaskan pentingnya menuntut ilmu karena jihad dan menuntut ilmu adalah dua unsur pokok dalam dakwah Islam. Dengan ilmu, dakwah akan berjalan dan dengan jihad aktivitas dakwah akan terlindungi.

Melalui ayat di atas, Allah  menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu nilainya sama dengan jihad mengangkat senjata dalam rangka mempertahankan dakwah Islam. Hal ini terlihat dari hal-hal sebagai berikut.

Pertama. Kata “nafara” dalam bentuk fi’il (kata kerja). Dalam ayat-ayat Al Qur’an selain ayat di atas selalu berkonotasi perang, misalnya; Dalam ayat,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا (النساء [٤]: ٧١)

“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu dan majulah (ke medan perang) dengan berkelompok-kelompok atau bersama-sama.” (QS. An Nisa’ [4]: 71).

Dalam ayat lain Allah  berfirman,

وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ (التوبة [٩]: ٨١)

“Mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah: “Api neraka jahannam lebih sangat panas jika mereka memahami.” (QS. At Taubah [9]: 81)

Kedua. Kata “laula” yang berarti mengapa tidak. Dengan kata-kata ini Allah menganjurkan pembagian tugas. Semua orang beriman diwajibkan berjihad dengan dua cara yakni: berperang mengangkat senjata dan memperdalam ilmu pengetahuan agama. Jika yang berperang mempertahankan agama, maka yang memperdalam ilmu pengetahuan mengerahkan jiwa dan raganya untuk mempelajari ilmu (agama). Keduanya penting dan saling mengisi.

Ketiga. Ayat di atas merupakan serangkaian dari ayat-ayat tentang peperangan sehingga dapat diambil pengertian bahwa menuntut ilmu harus tetap berjalan walaupun dalam kondisi perang sekalipun. Apabila “nafirul am” (secara umum perintah untuk berperang) sudah dikumandangkan oleh Imaamul Muslimin, seluruh umat Islam yang tidak udzur syar’i wajib menyambutnya.

Tetapi dari golongan yang menyambut seruan tersebut hendaknya tetap ada kelompok (thoifah) yang tetap tinggal di belakang untuk bersungguh-sungguh memperdalam agama. Tentang siapa yang harus berangkat ke medan perang dan yang tinggal di belakang adalah tergantung kepada kebijakan Imaamul Muslimin.

Ayat di atas telah menjadi pedoman umat Islam sejak masa Rasulullah  dan masa-masa keemasan mereka.

Pada masa Rasulullah , walaupun keadaan dalam kondisi perang tetapi aktivitas menuntut ilmu tetap berjalan. Sehingga pada masa itu pembinaan umat ke dalam dan dakwah keluar berjalan dengan seimbang.

Keempat. Rasulullah  bersabda,

أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْجِهَادِ أَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوا النَّاسَ عَلَى مَاجَآءَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَأَمَّا أَهْلُ الْجِهَادِ فَجَاهَدُوْا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَآءَتْ بِهِ الرُّسُلَ (وراه ابو نعيم عن ابن عباس)

“Manusia yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu mereka menunjukkan manusia apa yang dibawa oleh para Rasul sedang ahli jihad mereka berjihad dengan pedang-pedang mereka membela apa yang dibawa oleh para Rasul.” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas).

Walaupun hadits ini sanadnya dhaif, tetapi matannya sesuai dengan Al Qur’an sehingga menurut para ahli hadits dapat dijadikan pedoman.

Ulama sekaligus Mujahid

Pada masa khulafaurrasyidin sampai pada masa menjelang keruntuhan Dinasti Turki Utsmani kondisi tersebut tetap sama sehingga lahirlah pejuang-pejuang yang faqih dalam agama. Para khalifah yang empat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali  di samping pemimpin umat dan panglima perang mereka juga ulama yang faqih dalam agama.

Abdullah bin Mas’ud  pembunuh Abu Jahal di perang Badar adalah seorang ulama. Salim Maula Abu Hudzaifah  adalah pahlawan perang Yamamah dalam menghadapi Musailamah al Kadzab adalah seorang penghafal dan qurra (guru Al Qur’an). Ibnu Taimiyah  seorang ulama penghidup sunnah ikut mengangkat senjata ketika pasukan Mongol menyerang Damaskus.

Setelah kaum Muslimin mundur di akhir Dinasti Usmani, orang belajar agama karena mengelak panggilan jihad di medan perang. Orang Mesir banyak lari ke Al Azhar untuk menjadi ulama karena Kerajaan Turki Utsmani tidak mewajibkan ulama dalam panggilan perang. Inilah sebagian sebab kehancuran umat Islam karena para ulama tidak memperhatikan jihad, sementara itu yang maju ke medan jihad kurang mengenal ajaran agama.

Dari uraian di atas diketahui bahwa Islam tidak mengenal militerisme. Semua umat Islam adalah mujahid. Hanya Imaamul Muslimin/Khalifah yang berhak membagi tugas siapa yang maju ke medan perang dan siapa yang harus tetap tinggal di garis belakang untuk tetap menekuni agama. Kedua kelompok ini bukan orang-orang khusus tetapi seluruh umat Islam.

Pada ayat di atas disebutkan bahwa orang yang mendalami agama (tafaqqohu fid din), ketika kelompok yang lain maju ke medan perang, memiliki tanggung jawab memberi peringatan kepada kelompok tersebut ketika mereka telah kembali ke tengah-tengah mereka agar mereka menjaga diri.

Ketika menjelaskan pengertian “untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka supaya mereka menjaga diri”, Al-Maraghi mengatakan, “Agar orang yang mendalami agama itu tujuan utamanya adalah mengajar orang-orang yang kembali dari medan perang dan mengingatkan mereka akibat buruk dari kebodohan dan tidak mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dengan harapan mereka takut kepada Allah  dan menghindari segala kemaksiatan.”

Dengan demikian seluruh orang yang beriman baik yang tinggal di garis belakang untuk mendalami agama maupun yang berangkat ke medan perang dapat mengetahui ajaran agama dan mampu mendakwahkannya, membelanya dengan argumen-argumen yang kuat serta menjelaskan rahasia-rahasianya. Jangan sampai orang beriman menuntut ilmu hanya untuk ambisi menjadi pemimpin, meraih pangkat yang tinggi, mengangkat harga diri, menumpuk-numpuk harta dan mengikuti prilaku para pejabat yang selalu bersaing untuk saling menjatuhkan antara yang satu dengan yang lain.

Ayat ini mengisyaratkan tentang kemuliaan individu dan masyarakat yang memahami agama. Al-Baghawi setelah menjelaskan ayat ini menukilkan sebuah hadits:

عَنْ مُعَاوِيَةَ  قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ (متفق عليه)

“Dari Mu’awiyah  berkata, Rasulullah  bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, dia akan diberi pemahaman tentang agama.” (Muttafaq Alaih)

Kata “faqih” pada mulanya dipakai orang Arab untuk orang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina yang sedang birahi dan unta yang bunting.

Pada masa Rasulullah  kata fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam agama. Rasulullah  pernah mendoakan Ibnu Abbas: “Ya Allah, berikan dia pemahaman yang mendalam tentang agama dan ajarkan ta’wil kepadanya.” Jelas di sini Rasulullah  tidak memaksudkan pemahaman hukum semata, tetapi memahami agama (Islam) secara umum.

Menurut Hasan Al Bashri, di antara sifat-sifat orang yang  memahami agama (faqih) adalah zuhud (tidak mementingkan kehidupan dunia), cinta kepada kehidupan akhirat, selalu beribadah kepada Allah , wara’ (berhati-hati dalam kehidupan dunia), selalu menahan diri dari perselisihan dengan sesama muslim, selalu memberi nasehat kepada orang banyak dan berhati-hati dalam berfatwa.

Wallahu A’lam bis-Shawwab

Penulis:

M Aulia Hafidza Al-Majied, Lc.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulumul Qur'an • Kaidah Penulisan Hamzah (Kaidah Imla dan Rasm)

Cyber Da'wah Aulia Media (CDAM) Kaidah Penulisan Hamzah (Kaidah Imla dan Rasm) Cara menulis hamzah di awal, di tengah, dan di akhir Berbeda dengan huruf hijaiyah lainnya, hamzah mempunyai kaidah tersediri dalam penulisannya. Hamzah bisa ditulis dalam bentuk alif, ya’, wau, atau mandiri (seperti kepala ain). Di bawah ini akan dijelaskan cara penulisan hamzah dalam kaidah imla’ dan juga rasm utsmani. Penulisan Hamzah 1. Hamzah di awal kata Ketika hamzah berada di awal kata, maka di tulis dalam bentuk alif, baik hamzah qatha maupun hamzah washal. Perbedaanya kalau menulis hamzah qatha harus ada kepala hamzahnya (ء) di atas alif ketika berharakat fathah dan dhammah serta berada di bawah alif ketika berharakat kasrah. Sedangkan menulis hamzah washal berbentuk alif saja tanpa ada kepada hamzah. Contoh hamzah qatha: أَنْعَمْتَ – أُنَاسٌ - إِكْرَامٌ Contoh hamzah washal: اَلْأَنْهَارُ - اِبْنٌ - اُنْصُرْ === Perbedaan hamzah qatha dan hamzah washal === 2. Hamzah di tengah Hamza

Bacaan Do'a Safar Perjalanan Lengkap Arab dan terjemahan

HM. Aulia Hafidz Al Majied, SE,.Lc' Al Khidmah Aulia Al Ziyadah  >Doa Umroh & Haji>Bacaan Doa Safar Perjalanan Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan Bacaan Doa Safar Perjalanan Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan Safar (perjalanan jauh) adalah suatu hal yang menyulitkan. Namun di saat sulit semacam itu, Allah memberikan kita kesempatan untuk banyak berdo’a dan di situlah waktu mustajab, mudah dikabulkan do’a Bacaan Doa Safar Perjalanan Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan Post category:Doa Umroh & Haji / Kumpulan Doa Islam Post comments:0 Comments Melakukan safar adalah salah satu fitrah sebagai umat manusia, terutama karena untuk niat ibadah. Sebagai umat muslim, dianjurkan untuk memanjatkan doa ketika akan melakukan aktifitas. Demikian juga kita dianjurkan untuk memanjatkan bacaan doa safar saat melakukan perjalanan atau bepergian jauh seperti umroh dan haji. Pengertian Safar Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar ada

Dzikir Selama Bulan Rajab

Beberapa amalan yang sudah memasyarakat ketika masuk bulan rajab salah satu cara yang dianjurkan oleh islam dalam hal ini adalah dengan melakukan wirid dzikir dan doa. mohon maaf bagi sahabat yang masih awam mengenai hal ini, berikut di bawah ini kami sajikan bacaannya dengan tulisan arab dan latin. Doa bulan rajab menyambut datangnya bulan sya'ban dan ramadhan اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ ALLAAHUMMA BAARIK LANAA FII RAJABA WA SYA'BAANAA WA BALLIGHNAA RAMADHANAA Artinya : Ya Allah berkahilah kami pada bulan rajab dan sya'ban dan sampaikan kami kepada ramadhan.  Wirid dan dzikir  Amalan Mulai Tanggal 1 sampai 10 Rajab   سُبْحَانَ اللهُ حَيُّ الْقَيُّوْمُ  SUBHAANALLOOHU HAYYUL QOYYUUMU (Dibaca 100 kali) سُبْحَانَ اللهِ اَحَدِ الصَّمَدْ  SUBHAANALLOOHII AHADISH-SHOMAD (Dibaca 100 kali)  سُبْحَانَ اللهُ الرَّؤُوْفُ  SUBHAANALLOOHUU ROUUFU (Dibaca 100 kali) Setelah sholat subuh, silakan baca atau amalkan ini sebanyak 70 ka